Rabu, 02 November 2011

Fobia Matematika


Guru Kunci Utama Atasi Fobia Matematika

Bandung, Kompas – Munculnya anggapan siswa dan masyarakat bahwa pelajaran Matematika sulit bahkan menjadi fobia, lebih disebabkan pola pengajaran yang lebih menekankan pada hafalan dan kecepatan berhitung. Guru sebagai penyampai ilmu harus mampu mengajarkan Matematika lebih menarik dan mengembangkan daya nalar siswa.Demikian dikatakan Dr Iwan Pranoto, pemerhati pendidikan Matematika dan dosen pada Departemen Matematika Institut Teknologi Bandung, dalam Semiloka Mengatasi Fobia Matematika pada Anak di Bandung, Sabtu (14/8). Menurut dia, selain kurang bervariasinya pola pengajaran yang ada, ketakutan anak pada Matematika juga disebabkan oleh pola pengajaran guru yang otoriter yang menganggap siswa yang banyak bertanya sebagai hal yang kurang ajar. Siswa harus patuh dengan apa yang diterangkan guru. “Matematika itu tidak sulit. Masalahnya, banyak orang tidak dapat bermatematika secara optimum gara-gara takut terhadap matematika. Ketakutan tersebut membuat mereka enggan belajar bahkan menjadi antipati,” kata Iwan. Iwan mengatakan, pada dasarnya kemampuan manusia untuk memahami matematika sama, tetapi kecepatannya berbeda.
Cepat lambatnya seseorang dalam memahami matematika banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan terutama dalam berkomunikasi. “Tidak ada istilah bakat ataupun tidak bakat dalam matematika,” tegas Iwan. Kemampuan yang sama tersebut membuat semua orang dapat belajar matematika untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Senada dengan Iwan, psikolog Alva Handayani menyatakan, berdasarkan kapasitas otak manusia yang luar biasa, orangtua dapat optimistis bahwa semua anak dapat memahami matematika. Seorang anak yang memiliki nilai rendah dalam matematika bukan berarti bodoh. Hal itu bisa disebabkan terhambatnya faktor-faktor pendorong intelektualitas anak. Munculnya fobia matematika juga disebabkan sugesti yang tertanam dalam benak seorang anak bahwa matematika itu sulit. Sugesti tersebut muncul dari orang-orang sekitar yang mengatakan matematika itu sulit. (MZW)
Sumber Kompas

Indikator dan Tujuan Pembelajaran


PERBEDAAN INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI DAN TUJUAN PEMBELAJARAN

Setiap kali penulis berkesempatan untuk menjumpai para guru dalam suatu pelatihan, workshop, seminar, atau dialog dengan topik pembahasan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), khususnya terkait dokumen-2 KTSP, pertanyaan seperti pada judul tulisan ini seringkali muncul, bahkan boleh dikatakan selalu muncul. Pertanyaan itu muncul khususnya setelah sekolah mulai mengembangkan kurikulum sekolah yang kemudian populer dengan nama KTSP. Hal itu wajar karena dokumen-2 KTSP adalah silabus dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang dibuat oleh para guru di sekolah masing-masing. RPP yang dibuat para guru itu antara lain memuat komponen indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Sebelum era KTSP, sebagai persiapan mengajar, para guru sebenarnya sudah terbiasa  membuat silabus  dan RPP, namun komponen di dalamnya belum memuat tujuan pembelajaran, hanya indikator pencapaian kompetensi. Karena indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran keduanya sama-sama merumuskan kemampuan siswa, maka seringkali timbul kebingungan atau keraguan di antara para guru tentang kesamaan dan perbedaan dari keduanya.
Untuk menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, terlebih dahulu perlu dicermati maksud dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Apa yang dimaksud dengan indikator pencapaian kompetensi? Menurut Standar Proses pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 41 Tahun 2007, indikator pencapaian kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran.Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Ini berarti indikator pencapaian kompetensi merupakan rumusan kemampuan yang harus dilakukan atau ditampilkan oleh siswa untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar (KD). Dengan demikian indikator pencapaian kompetensi merupakan tolok ukur ketercapaian suatu KD. Hal ini sesuai dengan maksud bahwa indikator pencapaian kompetensi menjadi acuan penilaian mata pelajaran.
Apa yang dimaksud dengan tujuan pembelajaran? Menurut Standar Proses pada Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007, tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajara yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar. Ini berarti kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran mencakup kemampuan yang akan dicapai siswa selama proses belajar dan hasil akhir belajar pada suatu KD.  
Sebelum membahas tentang perbedaannya, mari kita bahas tentang persamaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Merujuk pada pengertiannya, tujuan pembelajaran mencerminkan arah yang akan dituju selama pembelajaran berlangsung. Dengan demikian arah proses pembelajaran harus mengacu pada tujuan pembelajaran. Namun perlu diingat pula bahwa proses pembelajaran dikelola dalam rangka memfasilitasi siswa agar dapat mencapai kompetensi dasar. Pencapaian itu diukur dengan tolok ukur kemampuan yang dirumuskan dalam indikator pencapaian kompetensi. Agar kegiatan memfasilitasi berhasil optimal maka arah pembelajaran hendaknya mengacu pada indikator pencapaian kompetensi. Dengan demikian persamaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah pada fungsi keduanya sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran.
Mari sekarang kita bahas tentang perbedaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran, setiap siswa akan diukur pencapaian kompetensinya. Bagi siswa yang pencapaian kompetensinya belum mencapai kriteria yang ditetapkan (kriteria itu populer dengan nama KKM atau Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal) maka ia akan mendapat pelayanan pembelajaran remidi untuk memperbaiki kemampuannya yang didahului dengan analisis kesulitan atau kelemahannya dan diakhiri dengan penilaian kemajuan belajarnya. Mengingat bahwa tolok ukur yang digunakan dalam pengukuran itu adalah kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi maka dapat diartikan bahwa indikator pencapaian kompetensi merupakan target kemampuan yang harus dikuasai siswa secara individu atau dengan kata lain bahwa indikator pencapaian kompetensi adalah target pencapaian kemampuan individu siswa.
Merujuk pada pengertiannya, maka tujuan pembelajaran adalah gambaran dari proses dan hasil belajar yang akan diraih selama  pembelajaran berlangsung. Ini berarti tujuan pembelajaran adalah target kemampuan yang akan dicapai oleh seluruh siswa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran adalah bahwa kemampuan yang dirumuskan pada indikator pencapaian kompetensi merupakan target pencapaian kemampuan individu siswa sedangkan kemampuan yang dirumuskan pada tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kemampuan siswa  secara kolektif.
Setelah pertanyaan tentang perbedaan antara indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran terjawab, pertanyaan berikutnya yang sering muncul adalah: apakah rumusan kemampuan pada tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi selalu sama? ataukah dapat berbeda? Dengan mencermati persamaan dan perbedaan dari indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran, dapat terjadi keseluruhan rumusan kemampuan pada tujuan pembelajaran sama dengan keseluruhan rumusan kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Namun dapat pula terjadi sebagian rumusan tujuan pembelajaran tidak sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi. Mengapa?.  
Merujuk pada pengertian indikator pencapaian kompetensi sebagai tolok ukur dalam penilaian dan tujuan pembelajaran yang menggambarkan proses dan hasil belajar, maka dapat terjadi kemampuan yang akan diraih siswa selama pembelajaran berlangsung targetnya sama dengan kemampuan tolok ukur. Jika ini yang terjadi berarti keseluruhan rumusan tujuan pembelajaran sama dengan keseluruhan rumusan indikator pencapaian kompetensi. Dapat pula terjadi target pencapaian kemampuan selama pembelajaran berlangsung tidak sama persis dengan kemampuan tolok ukur. Hal itu disebabkan antara lain diperlukannya proses belajar pendukung agar siswa dapat mencapai kemampuan tolok ukur dengan baik. Dalam hal ini maka keseluruhan rumusan tujuan pembelajaran tidak sama persis dengan keseluruhan rumusan indikator pencapaian kompetensi, karena ada tujuan pembelajaran lain yang mendukung.
Untuk melengkapi pembahasan di atas, berikut ini diberikan ilustrasi persamaan dan perbedaan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran.
1.      Misalkan dipilih KD 3.1 Kelas VIII, yaitu ”menggunakan teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi-sisi segitiga siku-siku”. Misalkan dikembangkan 2 indikator pencapaian kompetensi pada KD 3.1, yaitu siswa mampu: (a) menuliskan teorema Pythagoras, (b) menentukan panjang sisi-sisi segitiga siku-siku dengan Teorema Pythagoras. Posisi indikator (a) adalah indikator  pendukung atau jembatan yaitu indikator yang tuntutan kemampuannya  harus ditunjukkan sebelum kemampun yang dituntut KD-nya dicapai. Posisi indikator (b) adalah sebagai indikator kunci. Indikator kunci adalah penanda pencapaian suatu KD dengan target minimal. Tuntutan kemampuan pada indikator kunci mewakili tuntutan kemampuan KD-nya.
2.      Untuk mengukur pencapaian kemampuan dengan tolok ukur indikator (a) maka perlu dilakukan penilaian dengan cara antara lain memberikan  kepada siswa beberapa gambar segitiga siku-siku kemudian meminta siswa menuliskan Teorema Pythagoras yang berlaku pada gambar segitiga-segitiga tersebut. Untuk mengukur pencapaian kemampuan melalui indikator (b) maka perlu dilakukan penilaian dengan cara antara lain memberikan kepada siswa beberapa segitiga siku-siku yang sebagian sisinya sudah diketahui panjangnya, selanjutnya siswa diminta menghitung panjang sisi segitiga siku-siku yang panjangnya belum diketahui. Penilaian dilakukan setelah guru memfasilitasi pembelajaran yang relevan.
3.      Pada proses pembelajaran, mengingat bahwa di Kelas VII maupun di  Sekolah Dasar (SD)  siswa belum pernah belajar tentang Teorema Pythagoras maka guru perlu memfasilitasi siswa agar terlebih dahulu  belajar ’menemukan’  Teorema Pythagoras. Setelah itu siswa diminta menjelaskan apa yang ditemukan, diikuti dengan berlatih menuliskan Teorema Pythagoras pada beberapa segitiga siku-siku. Nama dan posisi gambar segitiga-segitiga siku-siku yang diberikan kepada siswa hendaknya bervariasi. Berikutnya siswa berlatih menerapkan Teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi yang belum diketahui pada segitiga siku-siku. Segitiga  siku-siku yang diberikan kepada siswa hendaknya  dengan berbagai nama dan posisi gambar, dikemas sendiri-sendiri dan terintegrasi dalam gambar segitiga lancip atau segitiga tumpul. Untuk kepentingan itu maka perlu dirumuskan 3 tujuan  pembelajaran yaitu setelah mengikuti pembelajaran diharapkan siswa mampu: (a) menemukan Teorema Pythagoras , (b) menuliskan teorema Pythagoras dan (c) menentukan panjang sisi segitiga siku-siku dengan Teorema Pythagoras.
4.      Untuk mencapai tujuan (a) dan (b) guru antara lain dapat meminta siswa agar bekerja dalam kelompok yang difasilitasi alat peraga atau LKS dan mempresentasikan hasil ’temuannya’ kemudian berlatih menuliskan Teorema Pythagoras yang berlaku pada segitiga-segitiga siku-siku dalam berbagai nama dan posisi gambar. Untuk mencapai tujuan (c) siswa dapat difasilitasi belajarnya secara individual, kelompok atau klasikal, tergantung strategi pembelajaran yang dipilih guru.
5.      Mengapa rumusan tujuan (a) tidak ada pada rumusan indikator pencapaian kompetensi? Menemukan Teorema Pythagoras adalah target pencapaian kemampuan secara kolektif, bukan individu. Kecuali itu kemampuan menemukan Teorema Pythagoras itu mencerminkan kemampuan dalam proses, belum sebagai hasil belajar,  sehingga walaupun dikembangkan tujuan pembelajaran (a) namun tidak perlu tujuan pembelajaran (a) itu tercermin pada indikator pencapaian kompetensi.
6.      Mengapa rumusan tujuan pembelajaran (b) sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi (a)? Target hasil belajar sesuai KD 3.1 adalah siswa mampu menggunakan Teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi-sisi segitiga siku-siku. Kemampuan itu akan dicapai dengan baik oleh siswa bila mereka benar-benar paham apa yang dimaksud dengan Teorema Pythagoras yang ditunjukkan dengan mampu menuliskan Teorema Pythagoras pada berbagai nama dan posisi gambar segitiga siku-siku. Jadi, menuliskan Teorema Pythagoras pada berbagai nama dan posisi gambar segitiga siku-siku merupakan hasil belajar yang seharusnya dikuasai setiap siswa. Bila kita tidak yakin bahwa secara individu sebagian besar siswa mampu memahami maksud Teorema Pythagoras, sehingga mampu menuliskan Teorema Pythagoras pada berbagai nama dan posisi gambar segitiga siku-siku, maka kita perlu menuliskannya sebagai indikator pencapaian kompetensi. Posisi indikator tersebut sebagai indikator pendukung atau jembatan. Karena dirumuskan sebagai indikator, berarti menjadi tolok ukur pencapaian kemampuan siswa secara individu, sehingga setiap siswa harus diukur pencapaian kemampuannya pada indikator itu. Dalam hal ini maka perlu dikembangkan tujuan pembelajaran yang sesuai atau searah dengan indikatornya. Oleh karenanya tujuan pembelajaran (b) sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi (a).
7.      Mengapa rumusan tujuan pembelajaran (c) sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi (b)? Karena target hasil belajar pada KD 3.1 adalah siswa mampu menggunakan Teorema Pythagoras untuk menghitung panjang sisi-sisi segitiga siku-siku maka pada indikator pencapaian kompetensi harus dirumuskan kemampuan itu. Dalam hal ini maka perlu dikembangkan tujuan pembelajaran yang sesuai atau searah dengan indikatornya. Oleh karenanya tujuan pembelajaran (c) sama dengan rumusan indikator pencapaian kompetensi (b).
Bagaimana ruang lingkup kemampuan yang dirumuskan pada tujuan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi? Mengingat tujuan pembelajaran merupakan target pencapaian kolektif, maka rumusannya dapat dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang disusun guru untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh oleh apapun desain atau strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru karena rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik KD yang akan dicapai siswa. Perlu diingat pula bahwa indikator pencapaian kompetensi menjadi acuan penilaian, yaitu sebagai tolok ukur pencapaian KD, sehingga tujuan pembelajaran harus searah dengan tolok ukurnya dan hendaknya dapat memfasilitasi siswa agar dapat mencapai kemampuan yang dirumuskan oleh tolok ukurnya. Dengan demikian berarti ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran dapat lebih luas atau sama dengan ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Hal itu sesuai dengan target kemampuan yang akan dicapai pada tujuan pembelajaran, yaitu mencakup proses dan hasil belajar, sementara target kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi adalah target hasil belajar. Dan tidak logis bila ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran lebih sempit dari ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi. Mengapa? Bila ruang lingkup kemampuan pada tujuan pembelajaran lebih sempit dari ruang lingkup kemampuan pada indikator pencapaian kompetensi, maka proses fasilitasi pembelajaran cenderung tidak lengkap atau tidak memadai untuk mengantarkan siswa mampu mencapai kemampuan sesuai tolok ukur.
Jawaban pertanyaan pada judul tulisan ini dalam perspektif pembelajaran matematika. Mengingat setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri maka dimungkinkan adanya sedikit perbedaan atau kekuranglengkapan atau kelebihan uraian bila tulisan ini diterapkan pada mata pelajaran lain. Namun demikian, apapun argumen yang dikemukakan untuk menjawab pertanyaan pada judul tulisan ini, uraiannya seharusnya mengacu pada Standar Proses sebagai bagian dari Standar Nasional Pendidikan. Bila Anda guru yang mengelola pembelajaran matematika (SD/SMP/SMA/SMK), sudahkah Anda mengembangkan indikator pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran pada RPP dengan mempertimbangkan hal-hal seperti diuraikan di atas? Bila Anda sudah melakukannya, selamat untuk Anda. Bila Anda belum melakukannya, semoga Anda termotivasi untuk segera merevisi RPP Anda. Penulis berkeyakinan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang berhasil optimal dimulai dari perencanaan pembelajaran yang cermat dan sesuai kondisi siswa kita. Anda setuju? Selamat berkarya. Mari berusaha agar  semakin hari kita semakin profesional dalam bekerja dan Allah SWT senantiasa meridhoi usaha-usaha kita. Amien.

Guru


Guru Antara Profesionalisme dan Kesejahteraan

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Baik tidaknya kualitas pendidikan sebagian besar tergantung pada guru. Karena itu, beban guru sangatlah berat. Karenanya merupakan satu hal yang wajar jika kesejahteraan guru harus diperhatikan.
Guru adalah ujung tombak pendidikan. Baik tidaknya kualitas pendidikan sebagian besar tergantung pada guru. Karena itu, beban guru sangatlah berat. Karenanya merupakan satu hal yang wajar jika kesejahteraan guru harus diperhatikan. Tetapi kesejahteraan guru bukanlah semata-mata adanya kenaikan gaji, melainkan juga berkaitan dengan sarana dan prasarana pendidikan. Mungkin kita harus dapat memahami bahwa seiring dengan peningkatan biaya pendidikan di daerah, maka porsi pembangunan fisik pendidikan akan terlihat jelas.
Jika dilihat dari kecilnya anggaran sektor pendidikan secara nasional, pembangunan fisik harus ditekan seminimal mungkin. Tapi nyatanya justru saat ini banyak bangunan SD yang rusak dan tidak layak digunakan untuk belajar. Pembangunan fisik gedung memang terlihat secara kasatmata tetapi tidak demikian halnya pembangunan di bidang-bidang spritual, seperti pembinaan mental dan pencapaian pembelajaran siswa. Akan tetapi keduanya saling berhubungan.
Seorang guru tidak akan merasa tenteram atau damai hatinya jika bangunan sekolah tempat ia mengajar dalam keadaan reyot, jalan ke sekolah itu becek, sedangkan langit-langit ruangan kelasnya rendah, tembok retak dan sebagainya. Karenanya, untuk masa sekarang, sarana pendidikan tersebut seharusnya direhabilitasi secara bertahap. Kalaupun mau membangun gedung sekolah baru, harus benar-benar dengan pertimbangan akal, keperluan, dan memenuhi standar sebuah sekolah. Jangan membangun sekolah seperti dulu, banyak yang tidak memenuhi standar, seperti sempitnya lahan bagi sebuah bangunan sekolah.
Bukankah kesejahteraan guru sebenarnya cukup baik dibandingkan dengan pekerjaan di sektor lain. Misalnya, soal gaji mereka. Pekerjaan guru, dan tentu saja gajinya, memang tidak bisa disamakan dengan pekerjaan lain-apalagi dibandingkan dengan pegawai negeri lain. Guru harus bekerja 24 jam. Setiap saat tanggung jawab sosialnya dituntut. “Di negara-negara maju, seperti Singapura, gaji guru memang dibedakan dan jauh lebih tinggi. Guru SD kita seharusnya paling tidak memperoleh gaji Rp 1,5 juta per bulan, ujar Drs. Djauzak Ahmad, mantan guru dan mantan Direktur Pendidikan Dasar Depdikbud.
Sejauh mana gaji yang tinggi dapat menjamin mutu pendidikan ? Dengan gaji guru yang baik, maka sang guru dituntut untuk memperbaiki mentalnya dan melaksanakan didaktik metode yang baik. Dengan demikian, mutu pendidikan baru dapat diharapkan. Yang sering menjadi pertanyaan balik dari pemerintah adalah darimana pemerintah memperoleh uang untuk meningkatkan gaji mereka? Daerah yang mampu seharusnya bisa membuat langkah awal. Itu sebabnya perlu otonomi daerah, sehingga daerah memiliki kreativitas tersendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan. Contohnya adalah pemberian THR (tunjangan hari raya) yang diberikan di Riau dan DKI Jakarta. Jika perlu berikan tiap bulan. Selain kesejahteraan guru dan perbaikan sarana pendidikan dasar, hal lain yang harus dibuat daerah pada sektor pendidikan sehubungan dengan otonomi daerah adalah melengkapi peralatan pendidikan, seperti buku dan alat peraga.
Persoalan di dunia pendidikan memang sangat kompleks. Bahkan, dunia pendidikan di negeri ini seperti benang kusut yang sulit memulainya dari mana. Akan tetapi, soal kesejahteraan guru, memperbaiki sarana pendidikan dasar, dan melengkapi peralatan pendidikan, tetap harus dikedepankan meskipun dilakukan secara bertahap. Mengapa pendidikan dasar mendapat tekanan khusus dibandingkan jenjang pendidikan lain? Karena pendidikan dasar ini yang paling parah. Sarananya saja paling banyak rusak dibandingkan SLTP dan SLTA. Belum lagi menyangkut soal pelaksanaan proses belajarnya. Dengan telah disahkannya undang-undang pendidikan nasional, kita berharap agar dana sebesar 20% dari APBN benar-benar direalisasikan dan diberikan untuk dunia pendidikan di negeri ini.