Senin, 31 Oktober 2011

Implemtasi Teori Belajar


Implementasi Teori Belajar
PDF
Cetak
E-mail

Pemahaman guru akan pengertian dan makna belajar akan mempengaruhi tindakannya dalam membimbing peserta didik untuk belajar. Guru yang hanya memahami belajar hanya agar murid bisa menghafal tentu beda cara mengajarnya dengan guru yang memahami belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku.Untuk itu guru penting memahami pengertian belajar dan teori-teori belajar . Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu beriteraksi dengan lingkungannya.

W.H. Burton (1952) mendefinisikan belajar : “Learning is a change in the individual due to instruction of that individual and his environment, which fells a need and makes him more capable of dealing adequately with his environment”.  Dari pengertian tersebut ada kata ‘change” maksudnya bahwa seseorang yang telah mengalami proses belajar akan mengalami perubahan tingkah laku baik dalam kebiasaan (habit), kecakapan-kecakapan (skills) atau dalam tiga aspek yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (affektif), dan ketrampilan (psikomotor). Sedang Ernest R. Hilgard dalam B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu (1981) mengemukakan “Belajar adalah suatu proses  perubahan kegiatan karena reaksi terhadap lingkungan, perubahan tersebut tidak dapat disebut belajar apabila disebabkan oleh pertumbuhan atau keadaan sementara seseorang seperti kelelahan atau disebabkan obat-obatan”. Teori belajar pada umumnya dibagi menjadi 3  golongan, dengan mempelajari  teori ini guru dapat memahami dasar proses belajar beserta dalil-dalilnya sehingga guru dapat memanajemen proses belajar mengajar. 

A. Behaviourisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Tokoh utama aliran ini adalah J.B. Watson. Watson membaca karya Pavlov dia merasa mendapatkan model yang cocok untuk pendiriannya, untuk menjelaskan  tingkah laku manusia. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :  

1. Classical Conditioning (Ivan Petrovich Pavlov 1849-1936)
Teori ini dikemukkan  oleh Pavlov yang kemudian dipelopori oleh Guthric, Skinner yang berhaluan behavioris. Pavlov mengadakan eksperimen disebut Condition reflex karena yang dipelajari gerakan otot sederhana yang secara otomatis bereaksi terhadap suatu perangsang tertentu. Reflex  dapat ditimbulkan oleh perangsang yang lain yang dahulunya tidak menimbulkan reflex tadi.  Kesimpulan Pavlov (Sumadi Suryabrata :1987): Pertanda/signal dapat memainkan peranan penting alam adaptasi hewan terhadap sekitarnya. Reaksi mengeluarkan air liur pada anjing karena mengamati pertanda mula mula disebut reflek bersyarat (Conditional Rreflex/CR). Pertanda atau signal disebut perangsang bersyarat (Conditioned Stimulus/CS). Makanan disebut perangsang tak bersyarat (Unconditioned Stimulus/US). Sedangkan keluarnya air liur karena makanan disebut refleks tak bersyarat (Unconditioned Reflex/UR). Teori ini menekankan bahwa belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.(Oemar Hamalik :2000).Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah :
  1. Tingkah laku guru mengharapkan murid menghafal secara mekanis/otomatis
  2. Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif.
  3. Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan
  4. Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku
  5. Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya
  6. Guru tidak memperhatikan individual differences
  7. Guru menggunakan “learning by parts” sampai tak ada hubungan
  8. Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang diolah guru, jadi guru aktif.

Hal ini terjadi karena (menurut teori belajar conditioning) :a.      Terbentuknya tingkah laku sangat sederhana dan mekanistis reflektifb.      Peranan perasaan, kemauan, pikiran, kepribadian tak mengarahkan tingkah laku. Jadi manusia sajac.      Tak sanggup menganalisa tingkah laku yang kompleks dimana tenaga rohani sebagai pendorong.d.      Terbentuknya tingkah laku karena habis formation. 

2. The Law Of Effect (Edward L.Thorndike;1874-1949) : S-R  Theory
Thorndike berpendapat , bahwa yang menjadi dasar belajar ialah asosiasi antara kesan panca indra (sense impression) dengan impulse untuk bertindak (impulse to action). Bentuk belajar oleh Thorndike disifatkan dengan “Trial and Error learning” atau “learning by selecting and connecting. Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya: a. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. b. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih. c. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus - Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons. Law of effect ini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respon yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi disebut dan ditandai  atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan , maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan  hubungan itu akan berkurang (Sumadi Suryabrata:1987).

Dalam Law of effect, segala tingkah laku yang mengakibatkan keadaan yang menyenangkan akan diingat. Dan tingkah laku yang menyenangkan mudah untuk dipelajari begitu pula sebaliknya. Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori ini disebut SR Bond Theory atau  S-R Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga teori “Trial and Error Learning” Berdasarkan teori belajar tersebut , maka implikasinya bagi dalam pendidikan sebagai berikut  (B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu:1981): a.      Tak memperhatikan individual differences.b.      Kadang-kadang lupa akan tujuan pokok, karena terlalu memperhatikan alat (reward)c.      Biasanya yang berhasil adalah murid yang struggle untuk menerima hadiah (reward) Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :a.      Manusia belajar karena kepuasan untuk memperoleh ganjaranb.      Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of effectc.      Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis conditioning.  Praktik belajar seperti cocok digunakan untuk memotivasi peserta didik dengan pemberian hadiah/ganjaran/reward. Namun penggunaannya hanya saat-saat tertentu dan dalam keadaan yang memungkinkan. Sebab jika dilakukan terus menerus peserta didik cenderung mau belajar karena akan memperoleh reward, lalu kalau reward ditiadakan peserta didik apakah masih mau belajar. Segala yang menyenangkan  (law of effect) akan diingat oleh peserta didik dan akan mudah dipelajari oleh peserta didik, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran matematika yang menyeramkan menjadi yang menyenangkan. 

3. Operant conditioning (Baron. F. Skinnner; 1904 –1990) : Reward & Punishment (Positive and Negative reinforcement) 
Sebagaimana tokoh behavour lainnya, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan response, hanya saja  Skinner membedakan dua macam response : (1) responden response (reflextive response), yaitu respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu, Perangsang demikian disebut eliciting stimuli, menimbulkan respose yang relatif sama; dan (2) Operant response (instrumental response) yaitu response yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforcer karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat response yang telah dilakukan oleh organisme.  

Implikasi dalam dunia pendidikan dari teori ini :a.      Anak yang telah belajar akan menjadi giat belajar jika mendapat hadiahb.      Hadiah yang diberikan kepada peserta didik tidak harus berupa barangc.      Inovasi Pengajaran sebagian besar disusun berdasarkan teori Skinner, yaitu memberikan dasar teknologi pendidikan yang banyak digunakan di Indonesia seperti PPSI, modul dan pengajaran tuntas. Teori ini  belajar ini cocok untuk pendidikan modern dengan menggunakan inovasi-inovasi baru misalnya belajar model konferensi dengan bantuan komputer yang saling berhubungan (internet) sehingga dapat meningkatkan Operan response peserta didik menjadi lebih intensif/kuat. Teori ini masih berkembang di Amerika, tentu saja untuk Indonesia juga masih sangat cocok. 

4. Social Learning (Albert Bandura)  
Teori Belajar Sosial disebut Teori Observational Learning (Belajar Observasional  dengan pengamatan ).  Tokoh utama teori ini adalah Albert Bandura. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S – R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitip manusia itu sendiri.  Prinsip Dasar Social learning : a.      Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui: peniruan (imitation), penyajian contoh perilaku (modeling).b.      Dalam hal ini, seorang peserta didik belajar mengubah perilaku sendiri melalui penyaksian cara orang/ sekelompok orang mereaksi / merespon sebuah stimulus tertentu. c.      Peserta didik dapat mempelajari respons-respons baru dengan cara pengamatan terhadap perilaku contoh dari orang lain, misalnya : guru / orang tuanya. Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosal dan moral peserta didik ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan). Prosedur-prosedur Social learning :a . Conditioning.   Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku social dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan ; Reward (ganjaran / memberi hadiah/ mengganjar), Punishment (hukuman / memberi hukuman). Dasar pemikirannya : Sekali seorang peserta didik mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), ia senantiasa berpikir dan memutuskan perilaku social mana yang perlu ia perbuat. Komentar orang tua / guru : ketika mengganjar/menghukum peserta didik merupakan faktor yang penting untuk proses penghayatan peserta didik tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral ). Orang tua dan guru  diharapkan memberi penjelasan agar peserta didik tersebut benar-benar paham mengenai jenis perilaku mana yang menghasilkan ganjaran dan jenis perilaku mana yang menimbulkan sangsi. Reaksi-reaksi seorang peserta didik terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespons sesuai dengan kebutuhan.Melalui proses pembiasaan merespons (conditioning) ini, menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf yang sebaik-baiknya agar kelak terhindar dari sanksi.b.  Imitation (peniruan).

Dalam hal ini, orang tua dan guru seyogyanya memainkan peran penting sebagai seorang model / tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral bagi peserta didik. Contoh : Mula-mula seorang peserta didik mengamati model gurunya sendiri yang sedang melakukan sebuah sosial, umpamanya menerima tamu, lalu perbuatan menjawab salam, berjabat tangan, beramah-tamah, dan seterusnya yang dilakukan model itu diserap oleh memori peserta didik tersebut. Diharapkan, cepat/lambat peserta didik tersebut mampu meniru sebaik-baiknya perbuatan social yang dicontohkan oleh model itu. Kualitas kemampuan peserta didik dalam melakukan perilaku social hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi peserta didik “ siapa “ yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral peserta didik tersebut. Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena contoh lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. Sebagai contoh hasil belajar ini adalah keagresifan anak bukan tidak mungkin disebabkan oleh tayangan kekerasan dalam film-film laga di Televisi. Anak-anak SLTP, SLTA cara memakai baju yang ketat, tidak rapi, gaya bicara yang prokem ternyata akibat nonton tayangan televisi yang menyajikan sinetron remaja. Anak-anak yang konsumerisme/suka jajan ternyata pengaruh lingkungan yang memberikan contoh konsumerisme. Maka disini perlu peran dari orang tua, dan guru sebagai panutan bagi anak. Agar kedua tokoh ini dapat memberikan bantuan penyelesaian masalah anak-anak dengan baik.  

B. Cognitivism (Piaget)
Pandangan tentang teori belajar ini meliputi kemampuan atau mengatur kembali dari  susunan pengetahuan melalui proses kemanusiaan dan penyimpanan informasi. Pendapat Jean Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut (Slameto:1995):a.      Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil, mereka mempunyai cara yang khas  untuk menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam belajar.b.      Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu menurut suatu urutan yang sama bagi semua orang.c.      Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.d.      Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu :
    • kemasakan
    • pengalaman
    • interaksi social
    • equilibration (proses dari ketiga faktor diatas bersama-sama untuk membangun dan memperbaiki struktur mental)
Piaget membagi 4 tingkat perkembangan kemampuan otak untuk berpikir mengembangkan pengetahuan (cognitif) :
  1. Sensory motor (umur 2 tahun)
  2. Preoprational (umur 2-7 tahun)
  3. Concret Operational (umur 7-11 tahun)
  4. Format Operational (umur 11 tahun ke atas)

 Skema sensor adalah prilaku terbuka yang bersifat jasmaniah yang tersusun secara sistematis dalam diri bayi/anak yang merespon lingkungan. Sedangkan skema kognitif adalah tatanan tingkah laku untuk memahami dan menyimpulkan lingkungan yang direspon. Ada dua macam kecakapan kognitif peserta didik yang amat perlu dikembangkan segera, khususnya oleh guru, yakni :
  1. Strategi belajar memahami isi materi pelajaran
  2. Strategi meyakini arti penting isi materi pelajaran dan aplikasinya serta menyerap pesan-pesan moral yang terkandung dalam materi pelajaran

Belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
  1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
  2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
  3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
  5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

C. Constructivism
Teori belajar Kontstruksi  merupakan teori-teori yang menyatakan bahwa peserta didik itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. Konstruktivisme lahir dari gagasan Jean Piaget dan Vigotsky dimana keduanya menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru.  Hakikat dari teori konstruktivism adalah ide bahwa peserta didik harus menjadikan informasi itu miliknya sendiri.

Teori ini memandang peserta didik secara terus menerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan memperbaiki aturan-aturan tersebut. Salah satu prinsip paling penting adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada peserta didik, peserta didik harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri., guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi peserta didik dengan memberikan kesimpulan kepada peserta didik untuk menerapkan sendiri ide-ide dan  mengajak peserta didik agar peserta didik menyadari dan secara sadar menggali strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. 

Pendekatan konstruktivism dalama pengajaran lebih menekankan pada pengajaran Top-Down daripada Bottom-Up. Top-Down berarti peserta didik mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) keterampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. Constructivism dibagi tiga yaitu Zone of Proximal Development; Cognitive Apprenticeship;Scaffolding  a.      Zone of Proximal Development atau zona perkembangan terdekat adalah ide bahwa peserta didik belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. b.      Cognitive Apprenticeship, konsep lain yang diturunkan dari teori Vygotsky menekankan pada dua-duanya hakikat sosial dari belajar dan zona perkembangan terdekat adalah pemagangan kognitif .c.      Scaffolding atau mediated learning, akhirnya teori Vygotsky  menekankan bahwa scaffolding atau mediated learning atau dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal penting dalam pemikiran konstruktivism modern. 

Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme antara lain : (1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif; (2) tekanan proses belajar mengajar terletak pada peserta didik; (3) mengajar adalah membantu peserta didik belajar; (4) tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil belajar; (5) kurikulum menekankan pada partisipasi peserta didik; (6) guru adalah fasilitator (Paul Suparno:1997). Penulis menyarankan agar konstruktivisme ini digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar bentuk yang bisa dilakukan diantaranya konsep pembelajar mandiri (learner utonomy), belajar kelompok (cooperative learning).Guru hanya sebagai mediator, selanjutnya peserta didik secara sendiri-sendiri maupun kelompok aktiv untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan. 

Rujukan :
B. Simandjuntak dan IL. Pasaribu, Psikologi Perkembangan, Tarsito, Bandung. 1981
Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Jakarta, 2000
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, Kanisius, Yogyakarta, 1997
Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Rineka Cipta, Jakarta, 1995Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Rajawali Pers, Jakarta, 1987W.H. Burton, The Guidances of Learning Activities, Appleton Century Crofts, New York, 1952 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar